Pulau Sumatra adalah gerbang Islam menuju Nusantara. Sejarah Islam di kepulauan ini bisa dilacak dari berbagai literatur. Sebagian sumber menyebut Islam datang di kawasan ini sejak abad ke-13 M.
Bukti keberadaan makam Sultan Malik as-Shalih di Aceh Utara menyebutkan tahun wafatnya, yaitu Ramadhan 696 H/1297 M. Namun, teori lainnya berpandangan Islam hadir di wilayah Sumatra sejak abad ketujuh M.
Seiring perkembangan waktu, Islamisasi menghasilkan peradaban yang kuat. Berkembanglah kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra. Berita awal abad ke-16 M dari Tome Pires dalam Suma Oriental mengatakan, di Sumatra, terutama di sepanjang pesisir Selat Malaka dan pesisir barat Sumatra, telah banyak kerajaan Islam, baik yang besar maupun kecil.
Berikut tiga kerajaan Islam di pulau Sumatra yang dikutip dari Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional III:
Samudra Pasai
Letak Kerajaan Samudra Pasai lebih kurang 15 km di sebelah timur Lhokseumawe, Nanggroe Aceh, diperkirakan tumbuh antara tahun 1270-1275 M atau pertengahan abad ke 13 M. Sultan pertamanya yaitu Sultan Malik as-Shalih (w 1297 M).
Kerajaan Samudra Pasai mempunyai peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara dan perekonomian serta peradagangan. Malaka menjadi kerajaan bercorak Islam. Sejak Portugis menguasai Malaka pada 1511 M dan meluaskan kekuasannnya, Samudra Pasai mulai dikuasai pada 1521 M.
Kerajaan Islam di Jambi
Berdasarkan temuan-temuan arkeologis, kehadiran Islam di Jambi sejak abad kesembilan. Islamisasi besar-besaran terjadi bersamaan dengan tumbuh dan berkembanganya kerajaan Islam di Jambi sekitar 1500 M di bawah pemerintahan Orang Kayo Hitam anak Datuk Paduka Berhala.
Konon, menurut Undang-Undang Jambi, Datuk Paduka Berhala adalah seorang dari Turki yang terdampar di pulau Berhala yang kemudian namanya disebut juga Ahmad Salim. Ia menikah dengan Putri Salaro Pinang Masak yang sudah Muslim, turunan raja-raja Pagaruyung yang kemudian melahirkan Orang Kayo Hitam, Sultan Kerajaan Jambi yang terkenal.
Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya awalnya bercorak Buddha. Sejak kerajaan ini mengalami kelemahan, bahkan runtuh pada abad ke-14 M, mulailah proses Islamisasi sehingga pada akhir abad ke-15 M muncul komunitas Muslim di Palembang.
Palembang, sekitar awal abad ke-16 M, sudah ada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Demak masa pemerintahan Pate Rodim. Kedudukan Palembang sebagai pusat penguasa Muslim sudah sejak 1550 M.
Sultan pertama Kesultanan Palembang adalah Susuhunan Sultan Abdurrahman Khalifat al-Mukminin Sayidil Iman. Palembang berturut-turut diperintah oleh 11 sultan sejak 1706 dan sultan terakhir Raden Abdul Azim Purbolinggo.
Pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamuddin (1758-1774), syiar Islam semakin pesat. Karya sastra keagamaan dari tokoh-tokoh bermunculan, antara lain, Abdul al-Sammad al-Palembani, Kemas Fachr Al-Din, Kemas Muhammad bin Ahmad, Muhammad Muhyiddin bin Syekh Syihabuddin, dan Muhammad Makruf bin Abdullah.
Kelahiran pendiri Demak, kerajaan pertama Islam di Jawa, didahului rasa cemas. Ratu Dwarawati khawatir usai bermimpi melihat selir suaminya, Brawijaya V, yang berasal dari Tiongkok, memangku rembulan.
Saat itu, Putri Tiongkok tersebut sedang hamil. Dengan sejumlah alasan, Dwarawati berhasil membujuk Brawijaya, raja terakhir Majapahit itu, untuk menitipkan Putri Tiongkok ke sulung mereka, Arya Damar, yang menjadi Bupati Palembang.
Filolog Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara memaparkan, berdasarkan Serat Kandha, Puteri Tiongkok itu adalah anak sahabat Brawijaya V, seorang saudagar bernama Kiai Bantong atau Ban Hong.
Terkait identitas dan kisah Puteri Tiongkok hingga bisa menjadi selir Brawijaya V, nyaris tak ada sumber tertulis yang mengupas secara khusus.
Namun, diduga Puteri Tiongkok tersebut telah menganut Islam. Menurut sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa, banyak orang Tiongkok pada abad XV yang tinggal di pesisir menganut Islam.
Brawijaya V sendiri, seperti kebanyakan pemimpin Majapahit, menganut agama Siwa.
Pada 1474 Masehi, Jin Bun berlayar ke Jawa dan belajar agama Islam kepada Sunan Ampel, salah seorang Wali Songo, di Surabaya. Jin Bun lalu bersalin nama menjadi Raden Patah.
Kemudian, Sunan Ampel memerintahkan Raden Patah untuk pindah ke Jawa Tengah, membuka hutan Glagah Wangi atau Bintara dan mendirikan pesantren.
Seiring perjalanan waktu, banyak yang tertarik menjadi santri di pesantren tersebut. Demak berkembang pesat. Brawijaya V lalu mengukuhkan Raden Patah sebagai Adipati Demak.
Dengan bantuan daerah-daerah lain yang telah lebih dulu menganut Islam seperti Jepara, Tuban, dan Gresik, Raden Patah memutuskan ikatan dengan Majapahit. Menurut Slamet Muljana, Demak menyerang Majapahit pada 1478 Masehi.
Setelah Majapahit runtuh, Demak kian mekar sebagai pusat penyebaran Islam dan tempat perniagaan yang sibuk.
Nama Raden Patah, yang "nonpribumi itu", niscaya menempati posisi istimewa dalam sejarah syiar Islam di Jawa.
Islam mengakar kuat di Pulau Kalimantan, seiring dengan perkembangan Islam di bumi Nusantara. Ada banyak teo ri tentang kapan Islam masuk di Kalimantan. Marzuki dalam Tarikh dan Kebudayaan Islam menjelaskan, di Pulau Kali mantan Islam masuk melalui pintu timur. Kalimantan Timur pertama kali diislamkan oleh Datuk Ri Bandang dan Tunggang Parangan.
Kedua mubalig ini datang ke Kutai (Kalimantan Timur) setelah orang-orang Makassar masuk Islam. Proses Islamisasi di sini dan daerah sekitarnya diperkirakan terjadi sekitar 1575 M. Teori lain menya takan, Islamisasi Kalimantan mungkin berlangsung atau dimulai dari Kerajaan Bru nei. Pada masa itu, Brunei merupakan pelabuhan dagang yang paling terkenal di Kalimantan.
Menurut Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional III, di seluruh Kalimantan terdapat kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam, baik yang besar maupun yang kecil. Berikut ini tiga kerajaan Islam yang pernah eksis di Kalimantan.
Kerajaan Banjar
Kerajaan Banjar (Banjarmasin) terdapat di daerah Kalimantan Selatan yang muncul sejak kerajaan-kerajaan bercorak Hindu, yaitu Nagara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang berpusat di daerah hulu Sungai Nagara di Amuntai kini.
Raden Samudra dinobatkan sebagai raja Banjar oleh Patih Masiri, Muhur, Balit, dan Kuwin. Pada waktu menghadapi peperangan dengan Daha, Raden Samudra minta bantuan Demak sehingga mendapat kemenangan.
Sejak itulah penguasa Kerajaan Samudra menjadi pemeluk agama Islam dengan gelar Sultan Suryanullah. Islamisasi di daerah ini terjadi sekitar 1550 M. Sejak pemerintahan Sultan Suryanullah Kerajaan Banjar meluaskan kekuasaannya sampai Sambas, Batanglawai Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Madawi, dan Sambangan.
Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai terletak di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, yaitu di sekitar pertemuan Sungai Mahakam dengan anak sungainya. Kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Dulunya kerajaan ini bercorak Hindu.
Karena letak kerajaan yang strategis, yakni berada di jalur perdagangan antara Cina dan India sehingga menunjang ekonomi kerajaan dan menjadi pintu masuknya bagi agama Islam.
Kedatangan Islam di Kalimantan Timur dapat diketahui dari Hikayat Kutai, yang menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Raja Mahkota, datang dua orang mubalig yang bernama Tuan ri Bandang dan Tuan Tunggang Parangan. Mereka datang di daerah Kutai setelah mengislamkan masyarakat Sulawesi Selatan.
Peristiwa ini terjadi pada akhir abad ke-16. Pada abad ke-17, aga ma Islam mulai diterima dengan baik oleh Ke rajaan Kutai Kertanegara dan rakyat-rakyatnya.
Kerajaan Pontianak
Kesultanan Pontianak didirikan pada akhir abad ke-18 M, sekaligus merupakan kesultanan termuda yang lahir di wilayah Kalimantan Barat. Sebelumnya, telah banyak terdapat kesultanan atau kerajaan lainnya yang telah lebih dulu berdiri di wilayah ini. Seperti Kerajaan Landak (1472M), Matan (16M), Mempawah (16M), Sambas (17M), dan lainnya.
Syarif Abdurrahman Alkadrie dinobatkan sebagai Sultan Pontianak Pertama. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Ra ya Sultan Abdurrahman Alkadrie dan Istana Ka dariah, yang sekarang terletak di Kelurahan Da lam Bugis Kecamatan Pontianak Timur. Ia me merintah dari tahun 1771-1808.
Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Pontianak terus mengalami kemajuan hingga menjadi kekuatan baru di wi la yah Kalimantan Barat dalam aktvitas perda gang an nya. Hal ini karena posisi kerajaan yang strate gis sehingga banyak pedagang asing yang singgah.
Islam datang di Sulawesi, terutama bagian selatan sejak abad ke-15 M. Para pedagang Muslim dari Malaka, Jawa, dan Sumatra banyak berdatangan di kawasan ini.
Khusus Sulawesi Selatan, Islam datang agak terlambat jika dibandingkan daerah-daerah lainnya di Nusantara, seperti Kalimantan, Sumatra, Jawa, dan Maluku.
Hal ini disebabkan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan terutama kerajaan Lawu, Gowa dan Tallo sebagai cikal bakal wilayah tempat masuknya Islam, dikenal sebagai kerajaan besar yang berpengaruh dan menjadi kerajaan dagang pada akhir abad XVI atau awal abad XVII.
Setelah kedatangan Islam, terjadi proses penyebarannya. Salah satunya di Sulawesi. Kerajaan-kerajaan Islam yang terdapat di Sulawesi Selatan antara lain Luwu, Gowa-Tallo, Bone, Soppeng, dan Wajo. Dan di Sulawesi Tenggara Kerajaan Konawe. Berikut ini tiga kerajaan Islam yang pernah berkuasa di Sulawesi :
Kerajaan Gowa-Tallo
Secara resmi kedua raja dari Gowa dan Tallo memeluk Islam pada 22 September 1605 M. Kerajaan Gowa-Tallo sebelum menjadi kerajaan Islam sering berperang dengan kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, seperti dengan Luwu, Bone, Soppeng, dan Wajo.
Sejak itu, Gowa meluaskan politiknya agar kerajaan-kerajaan lainnya juga masuk Islam dan tunduk di bawah kekuasaannya. Meski Gowa-Tallo sudah Islam, pada masa pemerintahan raja-raja Gowa selanjutnya, mereka tetap berhubungan baik dengan Portugis yang beragama Kristen Katolik. Contohnya, masa Sultan Gowa Muhammad Said (14 Juni 1639-16 November 1653) dan masa putranya Sultan Hasanuddin (16 November 1639-29 Agustus 1669).
Kerajaan Bone
Islamisasi di Bone tidak terlepas dari islamisasi Kerajaan Gowa. Sultan Alauddin melakukan penyebaran Islam secara damai. Pertama-tama ia lakukan dakwah Islam terhadap kerajaan-kerajaan tetangga.
Islam masuk di Bone pada masa La Tenri Ruwa sebagai Raja Bone XI pada 1611 M dan ia hanya berkuasa selama tiga bulan. Sebab, beliau menerima Islam sebagai agamanya padahal dewan adat Ade Pitue bersama rakyat menolak ajaran tersebut.
Perlu diketahui, sebelum Sultan Adam Matindore ri Bantaeng atau La Tenri Ruwa memeluk Islam, sudah ada rakyat Bone yang telah berislam. Bahkan, Raja sebelumnya We Tenri Tuppu karena mendengar Sidendreng telah memeluk Islam, ia pun tertarik belajar dan wafat di sana. Sehingga, ia digelari Mattinroe ri Sidendren.
Kerajaan Konawe
Masuk dan berkembangnya Islam di Kerajaan Konawe merupakan bagian dari proses perkembangan agama Islam di Sulawesi Tenggara khususnya, dan Indonesia umumnya.
Islam masuk di Kerajaan Konawe pada abad ke-18 yang dibawah oleh pedagang-pedagang dari Buton, Ternate, dan Bugis. Namun, diduga jauh sebelumnya telah masuk pedagang-pedagang dari Buton, Ternate, dan Bone. Akan tetapi, Islam belum diterima secara resmi.
Maluku yang dikenal dengan sebutan Jazirah al-Mamluk (Kepulauan
Raja-raja) adalah sebuah negeri di Timur Indonesia yang yang sangat
berpengaruh dengan empat kerajaan yaitu Jailolo, Ternate, Tidore, dan
Bacan.
Islam masuk di Maluku melalui
jalur perdagangan di abad ke-15. Alasan kenapa Islam masuk lewat jalur
perdagangan, karena pada awal abad ke-15 Maluku Sohor sebagai kepulauan
rempah-rempah yang menjadi sasaran pada pedagang asing untuk mendapatkan
cengkeh dan buah pala. Pedagang-pedagang itu diantaranya dari
Asia-Arab, Gujarat, Cina, dan pedagang-pedagang Jawa serat Melayu yang
telah memeluk agama Islam.
Syekh Mansur adalah
salah satu pedagang dari Arab yang meyiarkan Islam di Tidore pada masa
pemerintahan Calano Caliati. Sementara Datu Maulana Hussein adalah salah
satu pedagang dari Jawa yang juga berpengaruh dalam penyebaran Islam
di Ternate pada masa pemerintahan Kalano Marhum.
Sementara
itu, Portugis menyebut bahwa Islam masuk di Maluku semenjak pelantikan
Sultan Zainal Abidin ditahun 1486. Namun, sumber lain menyebut Islam
sudah ada di Maluku sekitar 50-60 tahun sebelum tahun 1486.
Setelah
Islam masuk di Maluku, pengaruh dan perkembangan Islam belum kuat
terutama di Ternate. Oleh sebabnya, Zainal Abidin pergi ke Jawa untuk
mempelajari Islam secara langsung dari Sunan Giri. Sunan Giri adalah
salah satu ulama atau wali terkenal di tanah Jawa. Dari sinilah muncul
empat kerajaan Islam di Maluku yang disebut Maluku Kie Raha (Maluku
Empat Raja).
Kesultanan Ternate yang dipimpin
oleh Sultan Zainal Abidin (1486-1500); Kesultanan Tidore dipimpin oleh
Sultan Mansur; Kesultanan Jailolo yang dipimpin oleh Sultan Sarajati;
Kesultanan Bacan yang dipimpin oleh Sultan Kaicil Buko.
Penyebaran
Islam di Maluku, tanpa terkecuali tidak dapat dipisahkan dari kerja
keras seorang pedagang sekaligus muballigh asal Jawa bernama Datu
Maulana Hussein. Ia tiba di Ternate pada 1465. Hussein adalah seorang
muballigh besar pada masanya. Ia memiliki pengetahuan agama Islam yang
luas dan dalam, serta pakar tilawah dan kaligrafi Arab.
Komentar
Posting Komentar