Pendidikan merupakan hal terpenting untuk membentuk
kepribadian, yang berarti keseluruhan dari invidu yang
terorganisir, dan terdiri atas disposisi-disposisi psikhis dan fisis yang
memberikan ciri-ciri yang umum dengan pribadi lain.
Pendidikan itu tidak selalu berasal dari pendidikan formal seperti sekolah atau
perguruan tinggi. Pendidikan informal dan non formal pun memiliki peran yang
sama untuk membentuk kepribadian, terutama anak atau peserta didik. Dalam UU
Sisdiknas No. 20 tahun 2003 kita dapat melihat ketiga perbedaan model lembaga
pendidikan tersebut. Dikatakan bahwa Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang
yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sementara
pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang
dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas
lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar
masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Sedangkan pendidikan informal adalah
jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
Pendidikan menurut Dictionary of Education dalam (Fatah N, 2006:4) dinyatakan bahwa
pendidikan adalah:
a)
Proses seseorang mengembangkan
kemampuan, sikap, tingkah laku lainnya di dalam masyarakat tempat mereka hidup,
b)
Proses social yang terjadi pada
orang yang dihadapakan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol
sehingga mereka dapat memperoleh kemampuan social dan kemampuan individu yang
optimium.
Melihat toeri pendidikan tersebut di atas mengisaratkan
bagi orang yang komitmen terhadap dunia pendidikan untuk selalu mengarahkan
kegiatan pendidikan disetiap lembaga apapun untuk mencapai hal-hal tersebut, sehingga
siswa yang nantinya menjadi output pada
lembaga pendidikan mampu mengembangkan kemampuan personal, dan mampu menolong
dan meluruskan kehidupannya di masyarakat, apalagi dewasa ini globalisasi
begitu kuat pengaruhnya terhadap siswa dalam pembentukan watak dan prilaku. Ada
beberapa indikator yang menunjukkan
bahwa kondisi dan kualitas pendidikan kita memerlukan penanganan yang lebih
serius dan terfokus. Di sisi lain pada aspek moral spiritual, ternyata bangsa
Indonesia juga memiliki prestasi yang mengecewakan yang dapat dilihat dari
kondisi berikut :
1.
Corruption Country; dari survey tahun 2004, 2005, 2006 yang diadakan oleh PERC
ternyata Indonesia menempati
rangking pertama korupsi di Asia. Sejak tahun
2004, sebanyak 4.348 perkara korupsi telah disidik Kejaksaan, Kepolisian, dan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Jurnalnasional.com, 9/12/2008).
2.
Dalam hal penyalahgunaan
narkoba, National Drug Abuse Prevention Center (NDPC) pada tahun 2000
lalu dari 4 juta pecandu narkoba, 70 % merupakan anak usia sekolah (14 hingga
20 tahun). Menurut Mangku Pastika, berdasarkan survei BNN 2006, dari 19 juta
siswa SMP dan SMA, yang terkena narkoba sebanyak 1,1 juta (Okezone.com,
14/2/2009).
3.
Pada sisi pergaulan bebas
remaja juga ditemukan kondisi :
a.
Pornoaksi sudah biasa
disuguhkan ke hadapan masyarakat di televisi sebagai salah satu menu utama
acara-acara hiburan, bahkan dalam tayangan-tayangan iklan. Adapun terkait
pornografi, Indonesia
sudah sejak beberapa waktu lalu dinilai sebagai ’surga pornografi’ kedua
setelah Rusia. Di dunia cyber, menurut Sekjen Aliansi Selamatkan Anak Indonesia, Inke
Maris, Indonesia
menduduki peringkat ketiga pengakses internet dengan kata seks (Republika,
22/9/2008).
b.
Pornografi/pornoaksi tentu
memicu kejahatan lain, utamanya seks bebas. Di Indonesia, seks bebas mencapai
22,6%. Ironisnya, sebagian besar dilakukan anak-anak remaja. Seks bebas tentu
menaikkan angka kehamilan di luar nikah. Di Indonesia kehamilan remaja di luar
nikah karena diperkosa sebanyak 3,2%, karena sama-sama suka sebanyak 12,9% dan
‘tidak terduga’ sebanyak 45% (Indofamily.net, 1/8/2008).
c.
Akibat langsung dari hamil di
luar nikah di kalangan remaja adalah maraknya kejahatan aborsi (pengguguran
kandungan). Saat ini di Jawa Barat saja, angka aborsi remaja mencapai 200 ribu
kasus pertahun. Secara nasional, jumlah remaja yang melakukan praktik aborsi
mencapai 700-800 ribu remaja dari total 2 juta kasus aborsi (Detik.com,
9/4/2009).
d.
Secara nasional, berdasarkan
data ILO, pada 2002-2006 saja ditemukan sebanyak 165 ribu pelacur. Sekitar 30
persennya atau 49 ribu jiwa adalah anak di bawah usia 18 tahun (Tempointeraktif,
8/2/2007).
e.
Seks bebas dan pelacuran tentu
sangat dekat hubungannya dengan kasus HIV/AIDS. Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional (KPAN) menyebutkan bahwa seks bebas kini menjadi penyebab utama (55%)
dari HIV/AIDS, selain narkoba (42%). (Aids.indonesia.or.id, 5/5/2009).
Dalam keyakinan Islam, berbagai krisis yang terjadi di
muka bumi ini tak terkecuali di Indonesia adalah merupakan fasad (kerusakan)
yang ditimbulkan oleh karena tindakan manusi sendiri. Ditegaskan dalam
Al-Qur’an Surat Ar-rum : 41 Artinya “ Telah nyata kerusakan di daratan dan
di lautan oleh karena tangan-tangan manusia”. Muhammad Ali Ashabuni dalam
kitab Shafwatu Al-tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan bimaa kasabat
ayidinnas dalam ayat tersebut adalah “ oleh karena kemaksiatan-kemaksiatan dan
dosa-dosa yang dilakukan manusia”. Untuk menghindari kemaksiatan dan
penyimpangan prilaku yang keluar dari norma-norma agama diperlukan adanya
perubahan mind set dalam kegiatan pendidikan, dan solusi tepat adalah penerapan
pendidikan yang berkarakter bangsa.
Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam
proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh
menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat, dan
berakhlak mulia baik dilihat dari aspek jasmani maupun rohani. Manusia yang berakhlak
mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat dituntut untuk dibentuk atau
dibangun. Bangsa Indonesia tidak hanya sekedar memancarkan kemilau pentingnya
pendidikan, melainkan bagaimana bangsa Indonesia mampu merealisasikan konsep
pendidikan dengan cara pembinaan, pelatihan dan pemberdayaan SDM Indonesia
secara berkelanjutan dan merata. Ini sejalan dengan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan
pendidikan adalah“… agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter
kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap
Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan
sehingga menjadi manusia insan kamil.
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan
lingkungan sekolah.
Karakter
adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk
hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat
keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia
buat. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional.
Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan
nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan,
kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar
pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga
berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa
yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa
serta agama. "Character is an never ending
process". Itu berarti bahwa proses pembentukan
karakter suatu bangsa tidak saja memerlukan waktu yang lama tetapi bahkan
memerlukan waktu yang tidak ada henti. Pembentukan karakter tak pernah selesai
karena karakter itu sendiri berproses menurut perkembangan dan dinamika bangsa.
Manusia harus memiliki ciri keunggulan moral
(Al.Purwa Hadiwardoyo, 1990 : 21) menjelaskan keunggulan moral yang sering
disebut keutamaan mengandung arti kemampuan yang dicapai oleh seseorang untuk
bersikap batin maupun berbuat secara benar, misal kerendahan hati, kepercayaan
pada orang lain, keterbukaan, kebijaksanaan, ketekunan kerja, kejujuran,
keadilan,keberanian, penuh harap, penuh kasih,
Tapi melihat gejala-gejala negatif yang dimiliki anak remaja pada
umumnya, orangtua dan pendidik akan dapat menyadari dan melakukan upaya
perbaikan perlakuan sikap terhadap anak dalam proses pendidikan formal, non
formal dan informal. Sebab Munculnya gagasan program
pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia, bisa dimaklumi, sebab
selama ini dirasakan, proses pendidikan ternyata belum berhasil membangun
manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan,
banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal membangun karakter. Banyak lulusan
sekolah dan sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi
mentalnya lemah, penakut, dan perilakunya tidak terpuji. Secara konseptual,istilah
pendidikan nilai ini sering disamakan dengan pendidikan religius, pendidikan
budi pekerti, pendidikan akhlak mulia, pendidikan moral atau pendidikan
karakter itu sendiri (Samsuri,2009:1). Pendidikan karakter, pendidikan moral, atau
pendidikan budi pekerti itu dapat dikatakan sebagai upaya untuk mempromosikan dan
menginternalisasikan nilai-nilai utama, atau nilai-nilai positif kepada warga
masyarakat agar menjadi warga bangsa yang percaya diri, tahan uji dan bermoral
tinggi, demokratis dan bertanggung jawab serta survive dalam kehidupan
bermasyarakat. Dengan demikian, pendidikan karakter merupakan proses
pembudayaan dan pemanusiaan.Pendidikan karakter akan mengantarkan warga belajar
dengan potensi yang dimilikinya dapat menjadi insan- insan yang beradab, dengan
tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kemanusiaan. Dalam pengembangan pendidikan karakter di
sekolah, institusi pendidikan atau sekolah harus menjadi lingkungan yang
kondusif. Sekolah harus menjadi sebuah komunitas dan wahana persaudaraan tempat
berkembangnya nilai-nilai kebaikan atau nilai-nilai utama. Pendidikan karakter
akan senantiasa mengembangkan akhlak mulia dan kebiasaan yang baik bagi para
peserta didik (Lewis, 1996:8).
Pendidikan karakter bukan sekadar memiliki dimensi
integratif, dalam arti mengukuhkan moral intelektual peserta didik atas dasar
nilai-nilai kebaikan, sehingga menjadi pribadi yang mantap dan tahan uji,
pribadi-pribadi yang cendekia, mandiri dan bernurani, tetapi juga bersifat
kuratif secara personal maupun sosial. Dengan demikian pendidikan karakter
sebenarnya dapat menjadi salah satu langkah untuk menyembuhkan penyakit social.
Pendidikan karakter bangsa merupakan suatu proses pembudayaan dan transformasi
nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai budaya bangsa (Indonesia) untuk
melahirkan insan atau warga negara yang berperadaban tinggi, warga negara yang
berkarakter. Guru dan siswa harus paham bahwa
kejujuran, kedisiplinan, ketekunan, toleransi adalah kendaraan untuk menuju akhlak mulia dan hal itu bisa
diterapkan secara menyeluruh dalam setiap mata pelajaran. Semoga ….
Komentar
Posting Komentar